𝙇𝙖𝙮𝙖𝙣𝙜-𝙡𝙖𝙮𝙖𝙣𝙜.
Kamu kira, seharusnya hadirnya semacam kumbang badak di musim panas. Sementara, tak dimaksudkan untuk menetap lama. Kamu duga, jernih manik matanya takkan mampu memenjara. Sebab kamu lebih memilih habiskan hari menatap jalinan tali sepatu ketimbang menyelami teduh tatap matanya.
“Tunggu di sini.”
Sore ini, dia menyeretmu keluar rumah. Menuju lapangan komplek, kaki-kakinya yang jenjang memimpinmu dengan sumringah. 𝘐𝘯𝘪 𝘩𝘢𝘳𝘪 𝘮𝘶𝘫𝘶𝘳, katanya dengan tawa. Sebab langit sedang berbahagia, hujan takkan datang mungkin hingga esok menjelang.
“Kamu yang pegang, aku yang lari.”
Patuh, kamu berdiri tetap bagai tiang lampu taman. Layang-layang kertas, kamu pegang hati-hati di tangan. Sebab takut mencelakai dengan jumlah keringat yang jari-jemarimu produksi. Lamat, kamu mencermati langkah mundur yang dia gapai selagi mengulur benang panjang-panjang.
“Coba bentangkan dulu?”
Dengan kening ramai kerut-merut, kamu menurut. Dua lengan sedia terulur ke atas. Layang-layang kamu sandingkan di atas kepala. Angin sedang bertiup kencang, maka layang-layang kalian seharusnya mampu mengudara sampai petang.
“Udah siap?”
Kadang-kadang, kamu merasa perlu untuk menjadi buta. Pura-pura tidak melihat bagaimana sudut matanya mengerling jenaka ketika sedang mengusilimu hingga murka. Atau, pura-pura tidak mendengar ketika namamu teralun lebih lembut dari biasa; bergulir seperti bola-bola manisan kapas yang meleleh di dalam mulutnya. 𝘒𝘢𝘳𝘦𝘯𝘢 𝘫𝘢𝘵𝘶𝘩 𝘤𝘪𝘯𝘵𝘢 𝘵𝘢𝘬 𝘱𝘦𝘳𝘯𝘢𝘩 𝘮𝘢𝘴𝘶𝘬 𝘬𝘦 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘳𝘦𝘯𝘤𝘢𝘯𝘢.
“Lepas, coba.”
Sebab ketika kamu memperhatikan punggungnya menjauh, kamu bertanya-tanya apakah itu layang-layang yang sedang dia terbangkan, 𝘢𝘵𝘢𝘶 𝘩𝘢𝘵𝘪 𝘶𝘵𝘶𝘩𝘮𝘶 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘪𝘢 𝘣𝘢𝘸𝘢 𝘮𝘦𝘭𝘢𝘺𝘢𝘯𝘨.
𝘼𝙣𝙖𝙠𝙞𝙣, 2.32 PM.