Come Inside of My Heart

“Kira-kira, kalau pulang mau ke mana?”

“Kamu?”

“Kok aku?”

Pukul tujuh petang itu waktunya pulang; pulang ke lengan, pulang ke rumah, pulang ke bayang-bayang peraduan. Semestinya begitu, dengan catatan kalau memang sudah punya yang jadi tujuan. Rastaban kira semuanya cuma busuk-busuk belaka hasil orasi para pecundang pemilik cinta yang digaungkan demi hadiah selangkangan basah sebelum shubuh tiba. Cinta itu hal mahal, dan Rastaban terlalu miskin untuk punya.

“Enggak pulang?”

Rastaban menggeleng. “Nanti.”

Di luar hujan, dan dia tidak membawa payung di dalam ranselnya; cowok cakep nan gagah ini merasa payung cuma beban yang bakal merusak otot pundaknya lama-lama. Sekarang? Menyesal juga karena meremehkan. Bayangan bergelung di bawah selimut sambil melamunkan uang seratus juta menguap dengan merana. Sialan.

Shankara, kawan sejawatnya dalam perkara menderita bekerja dan hobi memecahkan gelas kafe sekali seminggu, menggelontorkan tawa banyak-banyak. Mungkin di otaknya situasi ini memang lucu. “Enggak ada yang bisa dicium di rumah, ya, sekarang?”

Sejemang, Rastaban berpikir lamat. Apa iya? Memangnya iya? Sebab belakangan kepalanya tidak lagi diributi bisik-bisik yang mencerabut paksa warasnya, maka pemikiran yang selalu sukses mencubit sakit hatinya itu sudah jarang juga menyeruak keluar otaknya.

Ah, kalau ditakar-takar, kapan terakhir kali dia tenggak obat dari psikiater langganan yang mahalnya enggak bisa dinalar baik-baik itu, ya? Sudah lama. Dua hari lalu? Sebulan? Tidak lagi dia hitung sebab rutinitasnya sekarang sudah kembali dilahirkan dan sukses memperbaharui diri sendiri dalam seminggu. Seperti bayi yang dikandung ibu dalam sembilan bulan; keluar dari rahim dadanya dengan keikhlasan baru yang menolak untuk mengingat apa-apa yang sepatutnya memang dikubur dalam-dalam. Sialan, sekali lagi.

“Enggak setiap hari kepalaku cuma mikir kawin terus, Bang.”

“Mikir apa, kalau gitu?”

Memikirkan hajat hidupnya dalam sebulan ke depan, Rastaban ingin bilang. Atau memikirkan besok pagi mau sarapan apa yang tidak lebih mahal dari selembar uang sepuluh ribuan. Atau, memikirkan setelah makan siang mau bikin teh satu teko terus dicampuri es batu. Atau memikirkan impian remeh-temeh untuk memelihara seekor kucing yang bisa diajak mengobrol ketika dia sedang merebus mi instan. Atau ... memikirkan cowok lucu yang sekarang sedang berlari-lari mendekati kafe sambil menenteng payung berwarna kuning terang; takut tidak bisa temukan Rastaban di tengah-tengah kerumunan pekerja Jakarta di jalanan pulang.

“Mikir besok mau ke Ancol.” Rastaban bilang. Kerut-merut di dahinya sudah surut menghilang sebab pangerannya sudah datang.

“Mau ngapain ke sana?”

Rastaban mengulum senyum. Ada Maitreya Utara di depan pintu kaca; rambutnya yang basah dikibas-kibas seperti anak anjing rampung berenang. Jemarinya yang dia yakini berkeriput dingin melambai dalam sapa, yang dia balas dengan gestur ajakan masuk ke dalam.

“Mau ngopi.”

“Ngopi?”

Ditatapnya Utara, Tara, dan hidungnya yang merah dan mancung dan bahunya yang lebar dan lengannya yang memeluk payung dan kaki-kakinya yang dibalut celana yang juga basah dan beralaskan sandal jepit (karena dia tidak suka melihat anak itu membanjiri lalu merusak sepatunya yang mahal) dan gigi-gigi taringnya yang tampak ketika dia tertawa dan menggeleng dengan sopan dan—Rastaban meraih tasnya.

“Mau ngopi, terus cerita-cerita lucu.” Rastaban menyalami Shankara. Kalau sudah ada kuda putih di depan, haram hukumnya untuk menunda keberangkatan. Pokoknya, pulang! “Abang enggak akan paham.”

Mungkin, mungkin, cinta enggak perlu mahal untuk bisa Rastaban raih dalam genggam. Sebab ada yang mudah, sebab ada yang tak perlu memakan darah dan warasnya untuk hidup dan bertumbuh lama. Lalu, seperti matahari yang ditikam senja dan pulang, Rastaban menyongsong peraduannya juga dengan hati yang kenyang.

“Besok kita ke Ancol, ya.”

“Ngapain?”

“Lihat matahari.”

Rumthea, 2.21 pm.