cause when i sing, you shout.

andaikan seseorang bertanya tentang cinta, maka jemari heeseung akan menunjuk pada dada. mantap dia tekan, sebab ingin dunia tahu dia punya. satu, yang menjejali tulang rusuknya bagai bola-bola udara yang memampatkan. satu, yang resmi jadi rahasia hanya antara dia dan tuhan.

“ada di sini,” dia akan berkata dengan sorot meredup bagai tiang lampu taman, seakan-akan dia telah kehilangan sesuatu yang berharga.

mungkin, yang terjadi memang demikian. sebab jika ditanya perkara siapa dan wujudnya, dia akan mulai menerawang begitu jauh. seolah-olah cintanya mengawang di atas kepala, dekat namun begitu sulit tergapainya.

“ada,” dia akan bersikeras untuk tidak membagi nama, sebab cukuplah yang terbaik terukir di dalam hati dan kepala saja. sebab dia pikir apa-apa yang dia rasa adalah miliknya saja. dunia, tak cukup bagus untuk dapatkan sekelumit ceritanya.

maka, ketika tiba masanya berjumpa lagi dengan dia yang lekat menjerat hatinya dalam genggam rapat-rapat, heeseung datang agak ogah-ogahan. sebab melihatnya berdiri saja, mampu mengoyak dinding tinggi yang dia bangun mati-matian. satu lagi rahasia yang tercerabut keluar; mereka teman lama di kala masih duduk di bangku sekolah.

siapa, siapa orang gila yang merumuskan ide untuk adakan pertemuan setelah bertahun dia terseok-seok dalam usahanya untuk melupa?

orang-orang brengsek.

hyung!

nah, jantung yang seringkali dia informasikan sudah mati rasa pada kawan-kawan, mulai berdentum-dentum lagi. anak itu masih tampak sama; helai-helai rambut yang disingkap ke belakang dengan asal-asalan, dan celana bahan. heeseung melambai, dan mengamati derap langkah yang merangsek mendekati.

hyung datang.” kadang-kadang, kalimat ini terdengar retorik. tetapi peta di kepalanya telah kepalang menghafal tabiat yang bersangkutan, dan dia membiarkan kupu-kupu berputar-putar ribut di bawah ulu hatinya.

“sunghoon.”

sunghoon memamerkan deretan gigi-giginya. sejenak, mereka berdiri bagai orang asing yang baru pertama kali berbagi tatap. saling memperhatikan, untuk detail-detail yang mungkin terlewatkan. heeseung menelan ludah, lantas membasahi bibir bagian bawah.

“istrimu baik?”

ini topik yang mengandung duri-duri tajam; mencuat keluar, memaksanya untuk tunduk pada keadaan. sebab pada suatu ketika, dia pernah duduk di atas kasurnya, bermimpi untuk bisa merebahkan diri menggantikan posisinya yang begitu dia damba.

sunghoon tertawa, lantas membagi kepalan tangan untuk bertemu lengan. main-main, memang. tak sakit, pun. tetapi dampak suara tawa pada hatinya, jauh lebih menyiksa.

“baik.” kata sunghoon diserta satu senyum miring yang kelewat bajingan. “dia sedang bunting.”

“oh.” heeseung merasa hatinya mencelus ke dalam lumpur hitam nan pekat. dia tenggelam, dalam, dan merasa takkan pernah naik ke permukaan. maka, yang dia agihkan ialah kelakar yang kurang jenaka. “sedikit lagi jadi ayah?”

“kutakar,” sunghoon bergumam-gumam, dan mulai menghitung dengan jari-jemarinya. “empat bulan lagi.”

heeseung seringkali berpikir. di semesta lain yang ramah dan baik hati, mungkin itulah mereka; duduk di serambi rumah dengan anak-anak berlari-larian melintasi halaman. dia akan sibuk dengan jemarinya yang bergerilya di antara rambut hitam milik sunghoon, sementara anak itu menjadikan pahanya sebagai tumpuan kepala.

hyung.

heeseung mendongak, dan berharap dia tidak melakukannya. sebab ada sorot rindu yang dia tangkap di sana; satu, yang dia yakin juga berenang-renang di dalam bola-bola matanya. kadang-kadang, dia juga bisa melupa. bahwa dalamnya bening mata anak itu, ialah yang menjatuhkannya untuk kali pertama pada waktu yang lalu.

pada akhirnya, dia membiarkan sunghoon menyeretnya naik ke lantai dua. setiap detiknya, membisukan kebisingan teman-teman di belakang. setiap langkahnya, menariknya dekat menuju hasrat yang dia sembunyikan jauh-jauh di dalam; bahwa tak ada keinginan yang mutlak dia kehendaki selain merengkuh punggung lebar itu dan membenamkan wajahnya di sana. sungguh, ini tidaklah benar.

di balkon jauh dari ramai massa, mereka duduk berdua. jemari saling bertaut, meski tahu bayang-bayang dosa mengintai tak jauh dari sana. ini salah, mereka paham. tetapi ini juga terasa begitu ... pas. seperti dua keping puzzle yang cocok sudut-sudutnya. meski berasal dari dua kotak yang berbeda.

“satu tahun.” sunghoon memulai. ada nada menuduh yang melekat pada suaranya, dan heeseung mengeratkan genggaman jari-jemarinya. “senang jauh dariku?”

heeseung menarik napas, lantas memejamkan mata. “sedikit.”

sunghoon menelengkan kepala. “lihat patung liberty?”

“iya.”

“kadang-kadang, ingin ikut juga. berdua. kita bisa makan malam di rumah makan lokal setelahnya.”

“itu,” heeseung berdeham. dia menahan diri dari meneriaki telinga anak itu dengan fakta yang akan menyakiti mereka berdua. kau sudah punya istri. “adalah sebuah ketidakmungkinan.”

sunghoon berdengung menyetujui. “mungkin di kehidupan selanjutnya.”

heeseung mengerjapkan mata, lantas menepis angannya jauh-jauh. meski tak disuarakan, dalam diamnya dia menyetujui. sebab di kehidupan ini semesta menentang dengan segala upaya, maka harap dia rajut untuk kali berikutnya. lamat, dia tatap helai anak rambut yang menghias dahi sunghoon acak-acakan. sayang, dia singkirkan sejumput dengan jari tangan. dia tahu dia akan begitu merindukan rutinitas kecil yang satu ini. meski demikian, dia telan juga pahitnya sakit hati.

“kehidupan selanjutnya.”

rumthea, 6.43 pm.