𝙖𝙣𝙖𝙠 𝙠𝙪𝙘𝙞𝙣𝙜.
“kira-kira,” hongjoong berdeham dan melambaikan tangan. maksudnya jelas; hendak menggapai atensi wooyoung kembali padanya. hasilnya? tak terlalu bisa dikatakan berhasil. tetapi anak itu memperdengarkan dengung ringan sebagai tanda. dan itu, sudah lebih dari cukup.
hongjoong menatap helai-helai anak rambut yang mencuat membelai kulit pipinya. dia, tak diragukan lagi telah mencapai batasnya. “kapan kau akan pergi 𝘮𝘪𝘯𝘨𝘨𝘢𝘵 dari dadaku?”
wooyoung―demi tuhan!―anak itu tertawa, lantas membenamkan wajahnya lebih jauh. lebih 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮. hingga dia merasa tulang rusuknya telah melepuh dan membiarkan entitas baru bermarga jung merasuk dan bersemayam di dalamnya. dia merasa semesta sedang ingin mempermainkan kesabarannya hari ini.
“mungkin tahun depan.” wooyoung menyeru. nada suaranya terdengar kelewat riang, dan hongjoong mengerutkan kening. terperangkap di antara sofa dan wooyoung, kadang-kadang bukanlah sesuatu yang dia idam-idamkan. hatinya, terasa sesak penuh-penuh, dan dia seringkali tidak tahu harus berkomentar apa. maka, sama seperti pada hari-hari lainnya, dia memilih menelan kembali baris kata-katanya, dan membiarkan jemarinya tenggelam di antara helai-helai rambut yang lebih muda; memijat kulit kepalanya sekaligus.
“kalau aku tidak begini,” wooyoung memulai setelah bermenit waktu dilalui dalam hening yang―hongjoong benci mengakuinya―begitu nyaman. “hyeong bakal pergi lagi.”
𝘢𝘩.
“keharusan.” katanya lugas. sebab berpisah jarak meski hanya sebentar, memang menyebalkan untuk dirasakan.
wooyoung―bayi besarnya yang berisik namun menggemaskan―mengerang, lantas menusuk sisi pinggangnya dengan jari telunjuk. tidak sakit memang, tetapi demi penghiburan semata, dia terlonjak tidak berdaya. satu senyum yang mekar di sudut bibir wooyoung, adalah bayaran yang setimpal rupanya.
“baik, baik,” hongjoong menukas merasa kalah. ditariknya si pemarga jung lebih dekat dengan dadanya; tempat di mana dia kira jantungnya sudah berubah fungsi. alih-alih berdetak untuknya, organ itu berdegup dan berpacu demi bocah yang terperangkap di dalam kungkungan lengan. menggelikan, seonghwa mencibir dari memori kepalanya.
sebab, 𝘩𝘢! hongjoong telah membiarkan dirinya tenggelam dalam, dan yang mengejutkan―seonghwa mengatainya budak cinta dengan sangat tidak berperikemanusiaan―dia merasa oke saja dengan semua ini.
“tidur lagi?”
“lima belas menit.”
jengkel, wooyoung menggigit dadanya. kali ini, betulan terasa sakit. meski demikian, yang lolos dari mulutnya hanya serangkai tawa yang menular; sebab wooyoung juga terkikik-kikik di atas ulu hatinya.
“kenapa, ya?” hongjoong menunduk, dan menghadiahi satu kecup ringan pada puncak kepala wooyoung. tampaknya memang tidak ada gunanya menyingkirkan anak keras kepala yang satu ini. jadi, dia memilih untuk menyamankan diri guna menyongsong sore dengan berleha-leha. “kau seperti anak kucing.”
“... nyan?”
𝙠𝙡𝙖𝙪𝙨𝙖, 11.59 pm.