Padang Ilalang.
Pada suatu ketika, bisik-bisik tetangga menghinggapi telingaku; betapa ribut, berderak-derak seperti ketel ketika air yang sedang kau jerang mendidih berdeguk-deguk. Cintamu semu, itu kata mereka. Aku? Tersenyum simpul. Sebab tidak lain dan tiada bukan, menuju telapak tangankulah engkau mengirim segala kasih dan sayang, bukan mereka.
“Kenapa pula tersenyum-senyum?”
“Tetangga kita lucu.”
“Seperti kamu?”
“Seperti aku.”
Pada kesempatan lain, hidup mengirimiku sekelompok kumbang berisik yang gemar berdengung; mencubiti pipiku, semacam sedang memaksa mataku untuk terbuka lebar-lebar. Sebab katanya, kekasihmu punya cinta yang sedemikian sedikitnya. Ini lucu, sebab aku menunduk dan menemukanmu sedang sibuk mengomel sembari menalikan sepatuku. Katamu, anak manja sepertimu takkan hidup lama tanpaku. Keras-keras, aku setuju.
“Sekarang kenapa lagi?”
“Nanti kita beli pestisida.”
“Buat apa?”
“Berburu hama.”
Tidakkah kamu merasa takut? Aku kira, aku sempat salah mendengar desis yang dilontar daun-daun di halaman. Kami jarang sekali melihatnya memelukmu sebelum pergi bekerja. Ah, kukira yang demikian takkan pernah jadi soal. Tetapi tampaknya penghuni taman kita senang memperhatikan. Tersipu, aku menggelengkan kepala. Sebab tahu, dini hari ketika kamu melingkarkan lengan mengelilingi pinggang, itu jejak nyata yang kamu tinggalkan mengenai cinta yang dipertanyakan dunia tentang keabsahannya.
“Besok tidak usah ke toko.”
“Membolos bukan perilaku terpuji.”
“Halal dilaksana kalau istri di rumah sedang sakit pinggang.”
“Salah siapa?”
“Pinggangku.”
Tetapi semesta memang senang melongokkan kepala; atas hal-hal kecil yang terasa di luar nalarnya. Bahwa cinta kita tak perlu disuarakan lantang-lantang. Aku tahu, kamu tahu. Semuanya, berbalas tanpa sisa. Dan akan senantiasa diusahakan lebih-lebihnya.
Termasuk kopi pagi yang kepahitan, namun tetap kamu minum sebab tahu aku telah bersusah payah menakar gulanya. Termasuk handuk basah yang kamu letakkan di atas ranjang, sebab aku tahu kamu pelupa yang berbahaya. Termasuk genggam tangan di atas selimut legam, ketika kita berbaring bersisian dan menghitung bintang-bintang.
Sebab, Bahureksa Pramadana Umbara, untuk melukis peta rumah tangga yang Tuhan sebut kepercayaan, cukup tanganmu dan tanganku yang bergandengan.
Ditulis sembari terkikik-kikik di tengah imajinasi yang melambung tingginya, Anakin, 5.20 pm.