π™₯π™€π™‘π™–π™§π™žπ™¨.

duduk beralaskan sehelai selimut usang, wooyoung menghela napas panjang. piknik dadakan ini memang belakangan sering dia lakukan. menyeret jongho sebagai peneman, mereka berdua berkendara mengelilingi kota, dan berhenti di sudutnya demi menyaksikan matahari kembali ke peraduan. sebab orang bilang distraksi nyata ialah obat utama dari hancurnya hati yang lara. wooyoung, takkan membantah untuk beberapa episode pelarian kemarin. tetapi, hari ini jelas 𝘣𝘦𝘳𝘣𝘦π˜₯π˜’β€•

β€œhyeong, mau stroberi?”

wooyoung menaikkan alis, dan mencermati; betapa manis anak ini ketika sedang menyiapkan kudapan ringan. dia lekas menggeleng, dan menyempatkan diri menusuk dahi tak berponi milik jongho main-main. lamat, pula, dia perhatikan tegas manik mata yang lebih muda, dan membiarkan hatinya meraba.

β€œenggak.”

―alasan utama? denyut jantung yang disadari tak lagi berdetak untuk orang yang sama. sebab pagi ini, wooyoung terbangun dengan pemahaman baru menghias kepala; bahwasanya nama baru telah menggantikan yang lama, dan menjalin keping-keping pecahan hatinya kembali menyatu utuh. bahkan ketika dia gagal untuk menyadari prosesnya.

β€œhari ini apa? san lagi?”

wooyoung tertawa. sebab ternyata dengar nama𝘯𝘺𝘒 tak lagi mampu membuat jantungnya berdentum sebarkan nyeri. seolah-olah pemuda bermanik mata layaknya seekor kucing itu hanyalah fragmen memori belaka, yang telah duduk diam bertahun lamanya.

β€œbukan.”

jongho berkedip, dan meneruskan giatnya tangan membongkar tas. anak itu mengeluarkan satu botol jus buah, dan membukanya. wooyoung memperhatikan setiap geriknya, dan memetakan memori baru di dalam dada. setiap senti kulitnya, diterpa gelombang antusiasme baru akan prospek penuh risiko bernamakan jatuh cinta.

β€œterus kenapa, hyeong?”

β€œperjalanan mengenali diri.” wooyoung menyahut. π˜₯𝘒𝘯 𝘩𝘒𝘡π˜ͺ, ialah yang dia tolak untuk ucapkan keras-keras.

jongho tak berkomentar. mungkin dia kira hal-hal aneh yang demikian memang telah menempel erat dengan yang lebih tua, dan menjadikannya mafhum karenanya. alih-alih, bocah itu meraih tangan kanan wooyoung, dan melingkupi jemarinya dengan kehangatan.

β€œmau roti, nggak?”

wooyoung tersipu, dan merona-rona. dia mengalihkan tatap, dan berharap gelap menenggelamkannya. jika jongho sempat menangkap terangnya rasa malu yang merambat sampai ke telinganya, jongho nyatanya menyembunyikannya dengan baik.

β€œenggak.”

selagi sapuan pandangnya menjamah padang ilalang dan bintang-bintang setelah senja menghilang, gerilya telapak tangannya tak pernah berhenti; kali ini, balik meremat jari-jemari yang tak pernah luput untuk menggenggam miliknya ketika dia sedang merasa hilang.

β€œjongho,”

hangat suam kuku yang menyelip dan merasuk, memampatkan dadanya. penuh, dan alih-alih dipenuhi oleh rasa takut yang menjalar, untuk kali pertama setelah sesi patah hati yang dia lalui berminggu-minggu lamanya, dia merasa baik-baik saja.

β€œmm? haus? susu ada di dalam tasku.”

sejatinya, mungkin nama choi jongho telah terukir lama di dalam hati. lewat afeksi dan atensi yang selalu anak itu bagikan tanpa harap kembali; penuh, meski wooyoung kerap abai menyadari.

β€œbukan,”

mungkin rumah tak perlu jauh mencari, sebab yang dekat dalam jangkau tangan memang ada, dan mudah untuk dia raih; andaikan dia mau memberikan kesempatan.

β€œterus?”

maka, wooyoung lebih memilih untuk memeluk si pemarga choi erat; kepala menempel pada dada, sebab dengar degup jantung nyatanya telah jadi rutinitas yang menghasilkan rasa aman, dan wooyoung menyukainya. sebab keberanian belum datang seutuhnya, dan dia hanya dapat menyalurkan rasanya demikian. dia memang pecundang, dan pecundang selalu butuh waktu untuk merangkak keluar cangkang.

β€œkamu lucu.”

dan bibit bunganya, merekah pelan-pelan.

𝙠𝙑𝙖π™ͺ𝙨𝙖, 9.40 am.