klausaberwarita

Moth to a Flame.

“The sun.”

“The sun?”

There's a moment spent in a complete silence. He stared at the way light casted a soft halo above your head, and smiled. “The sun.”

You were there, sitting still. Your eyes were closed, but he could feel your breathe; warm against his ear, noisy against the emptiness of his heart. Sometimes, he wondered about how the Deities above must have been harboring massive love and care for you, with the way They craved your nose; a home he would always come home to after a long day at work, or the way they paint your eyes dark and deep. Like a pool he would always let himself get drowned in.

You were beautiful, and he knew that far in his head.

“The sun is a lonely entity, don't you think?”

“He is?”

You laughed, and he could feel his chest expanded. It's always lovely the way you filled his quiet life with colors. But you did not know that.

“He is a lonely creature.”

But you have him. You, had him. He was there, always there. Within your presence. Like a plague that's been trying to feed off your fears. Creeping up behind the shadows so that he could kiss your neck before midnight come. So that he could leave you something he thought you would like. At the first, you were scared. Who wouldn't be? But he was gentle. He was kind. He kissed your eyelids before bed time. He pecked your knuckles before the dream land kidnapped you away from this world. He worshipped you; in ways you thought you'd never like, but had came to love anyway.

“He can live within me.”

And you raised your eyebrow; curious on how he would do that.

“And he'll never feel lonely anymore.”

“Never?”

“Never ever.”

Have he told you about what is his most favorite thing to do? You'd say he hadn't. Because it is a secret he would like to keep until the day he die. You don't really know that, but it is to listen to the rhythm of your heartbeat. It is calming, he would reason with a colleague. Like sitting behind your window to stare at the rainfalls, or reading your favorite bed time stories before you close your eyes.

Home, he ever told you, as he laid himself atop of your chest, ear kissing your tee easily. He did that every night. Listening like a tentative little baby, over your beating heart.

Thump.

Thump.

Thump.

“Are you hungry?”

You waited until his giggle reduced into few chuckles; he looked ethereal like that, sitting in between your legs, as he kissed his way up your stomach. Sinking his fangs deep, and you thought he looked pretty like that.

“Hungry of you,” he admitted against the soft skin of your chest, “yes.”

You used to giggle everytime his lips grazed upon your ribs. You thought he's so silly, and would grant him a kiss on the forehead for being the sweetest. And he'd kiss you square on the mouth; like a starving birds, devouring your lips like there's no tomorrow. And you found yourself loving every bits of it.

You often wondered how did your heart taste; you had hoped it would cure his thirsty mouth, that it would conquer the hunger that creeped across his skin. Because it is the life that you gave willingly. Because it is the life you wouldn't mind losing if that meant you would prolong his own.

And as you settled comfortably on the floor of his stomach, you thought that, ah, you don't really mind to live within him.

Rumthea, 3.18 am.

Mess Is Mine.

Ditulis dengan mengadaptasi universum Chaos Walking milik Patrick Ness.

Kebisingannya begitu mengganggu. Kebisingan Sunghoon menjejak masuk ke dalam kepalanya, lantas bertahan lama di sana. Menjolok-joloknya lamat-lamat, seperti sedang menonton sapi perah menyediakan susu untuk seisi permukiman. Kacau sekali.

“Hoon,” Heeseung meningkahi dari atas ranjang. Suaranya gusar sekali selagi dia membalik badan untuk berbaring telentang.

Sejenak, yang terdengar hanya lautan kata tidak, tidak, dan tidak yang berenang-renang tanpa arah. Sunghoon tampaknya sadar kebisingannya mengalami kebocoran parah. Sebab ketika Heeseung melirik, anak itu sedang tersipu dan menggebuki pipinya sendiri. Mungkin memaki-maki sembari berbisik-bisik karena ketahuan memikirkannya lagi.

Heeseung menghela napas keras-keras. Dia julurkan lengan, dan meraih jari-jemari itu dari upaya mereka memberikan pipi Sunghoon luka lebam.

“Kalau kupegang tanganmu, mau diam tidak?”

Sunghoon merengut. “Bakal tambah berisik.”

Aduh sinting.

Heeseung mengerutkan dahi.

Jangan begitu, kau jadi kelihatan cantik.

Cantik.

Cantik.

Seksi juga.

“Hoon.”

Sunghoon merajuk. Suara yang dia keluarkan terdengar lebih mirip sapi yang sedang sekarat di atas bukit. “Bukan salahku.”

Tetapi Heeseung adalah insan yang terbuat dari kumpulan keras kepala yang dimampatkan banyak-banyak. Pergelangan tangan Sunghoon dia genggam, lantas ditariknya mendekat. Begitu, mereka berbaring bersisian seperti sepasang kekasih bersiap hendak tidur malam.

Kebisingian anak itu berubah jadi kepanikan. Heeseung dapat mencecapnya di lidah; pekat, mendesak-desak kepalanya. Mau tidak mau, dia tertawa kecil ketika telinganya kembali menangkap aduh, bego dan tangannya halus dan mau peluk dan jangan dipikirkan dong, bodoh.

“Hoon.”

Sunghoon membeku sedang Heeseung mengeratkan genggam tangan. Lagaknya tampak tenang meski yang berdegup-degup di dalam dadanya itu juga bikin kesal.

“Pejamkan matamu.”

“Oke.”

Kebisingan Sunghoon berdengung tanpa malu. Cium, cium, cium. Heeseung mendengkus.

Sunghoon.

“Sebetulnya agak tidak adil karena kau bisa mendengarku berkicau meski aku sedang tidur.”

“Kau mau aku bagaimana?”

“Tidur.”

“Kenapa?”

“Dengan begitu kau takkan bisa mencuri dengar isi kepalaku.”

Heeseung ... Heeseung mengulum senyum.

Rumthea, 10.38 am.

Come Inside of My Heart

“Kira-kira, kalau pulang mau ke mana?”

“Kamu?”

“Kok aku?”

Pukul tujuh petang itu waktunya pulang; pulang ke lengan, pulang ke rumah, pulang ke bayang-bayang peraduan. Semestinya begitu, dengan catatan kalau memang sudah punya yang jadi tujuan. Rastaban kira semuanya cuma busuk-busuk belaka hasil orasi para pecundang pemilik cinta yang digaungkan demi hadiah selangkangan basah sebelum shubuh tiba. Cinta itu hal mahal, dan Rastaban terlalu miskin untuk punya.

“Enggak pulang?”

Rastaban menggeleng. “Nanti.”

Di luar hujan, dan dia tidak membawa payung di dalam ranselnya; cowok cakep nan gagah ini merasa payung cuma beban yang bakal merusak otot pundaknya lama-lama. Sekarang? Menyesal juga karena meremehkan. Bayangan bergelung di bawah selimut sambil melamunkan uang seratus juta menguap dengan merana. Sialan.

Shankara, kawan sejawatnya dalam perkara menderita bekerja dan hobi memecahkan gelas kafe sekali seminggu, menggelontorkan tawa banyak-banyak. Mungkin di otaknya situasi ini memang lucu. “Enggak ada yang bisa dicium di rumah, ya, sekarang?”

Sejemang, Rastaban berpikir lamat. Apa iya? Memangnya iya? Sebab belakangan kepalanya tidak lagi diributi bisik-bisik yang mencerabut paksa warasnya, maka pemikiran yang selalu sukses mencubit sakit hatinya itu sudah jarang juga menyeruak keluar otaknya.

Ah, kalau ditakar-takar, kapan terakhir kali dia tenggak obat dari psikiater langganan yang mahalnya enggak bisa dinalar baik-baik itu, ya? Sudah lama. Dua hari lalu? Sebulan? Tidak lagi dia hitung sebab rutinitasnya sekarang sudah kembali dilahirkan dan sukses memperbaharui diri sendiri dalam seminggu. Seperti bayi yang dikandung ibu dalam sembilan bulan; keluar dari rahim dadanya dengan keikhlasan baru yang menolak untuk mengingat apa-apa yang sepatutnya memang dikubur dalam-dalam. Sialan, sekali lagi.

“Enggak setiap hari kepalaku cuma mikir kawin terus, Bang.”

“Mikir apa, kalau gitu?”

Memikirkan hajat hidupnya dalam sebulan ke depan, Rastaban ingin bilang. Atau memikirkan besok pagi mau sarapan apa yang tidak lebih mahal dari selembar uang sepuluh ribuan. Atau, memikirkan setelah makan siang mau bikin teh satu teko terus dicampuri es batu. Atau memikirkan impian remeh-temeh untuk memelihara seekor kucing yang bisa diajak mengobrol ketika dia sedang merebus mi instan. Atau ... memikirkan cowok lucu yang sekarang sedang berlari-lari mendekati kafe sambil menenteng payung berwarna kuning terang; takut tidak bisa temukan Rastaban di tengah-tengah kerumunan pekerja Jakarta di jalanan pulang.

“Mikir besok mau ke Ancol.” Rastaban bilang. Kerut-merut di dahinya sudah surut menghilang sebab pangerannya sudah datang.

“Mau ngapain ke sana?”

Rastaban mengulum senyum. Ada Maitreya Utara di depan pintu kaca; rambutnya yang basah dikibas-kibas seperti anak anjing rampung berenang. Jemarinya yang dia yakini berkeriput dingin melambai dalam sapa, yang dia balas dengan gestur ajakan masuk ke dalam.

“Mau ngopi.”

“Ngopi?”

Ditatapnya Utara, Tara, dan hidungnya yang merah dan mancung dan bahunya yang lebar dan lengannya yang memeluk payung dan kaki-kakinya yang dibalut celana yang juga basah dan beralaskan sandal jepit (karena dia tidak suka melihat anak itu membanjiri lalu merusak sepatunya yang mahal) dan gigi-gigi taringnya yang tampak ketika dia tertawa dan menggeleng dengan sopan dan—Rastaban meraih tasnya.

“Mau ngopi, terus cerita-cerita lucu.” Rastaban menyalami Shankara. Kalau sudah ada kuda putih di depan, haram hukumnya untuk menunda keberangkatan. Pokoknya, pulang! “Abang enggak akan paham.”

Mungkin, mungkin, cinta enggak perlu mahal untuk bisa Rastaban raih dalam genggam. Sebab ada yang mudah, sebab ada yang tak perlu memakan darah dan warasnya untuk hidup dan bertumbuh lama. Lalu, seperti matahari yang ditikam senja dan pulang, Rastaban menyongsong peraduannya juga dengan hati yang kenyang.

“Besok kita ke Ancol, ya.”

“Ngapain?”

“Lihat matahari.”

Rumthea, 2.21 pm.

Firework

“But that's not love.”

He laughed, eyes all crinkled. Pretty, and yet looked half dead as per usual. Like there's no life left behind. And perhaps, that's also true. For the world had been so cruel he no longer has any energy to fight anymore. His whole being screamed tiredness, and in the dark color of his dull eyes, you thought you would try to dive into. You thought you would be able to swim in his head and try to understand the why; why he tried so hard to feed another while he's dying himself.

“I know.” He whispered. His hand trembled, and you held the urge to hold.

Sometime, you thought you interrupted some intimate time he had with his own mind. Hence why, you never really reached out to help him stand against the autumn breeze. You let him lit up his cigarette, and watched as he puffed out the smoke. He's gorgeous, that's a fact. And yet, he managed to hid himself amidst the crowd like that. You thought, a star so bright should be able to shine through the night, not drowning like this.

It's unfair.

But, that's what love could do to someone, you think. Some chose to nurture and let it grow into beautiful red roses, the rest simply let it consume their soul until the very last. But this boy? This boy had gone beyond.

“Then, why?”

And then, you watched as his lips quirked up and somehow—you understood.

Rumthea, 11. 04 pm.

But I Can See Out Loud.

“Where do you think we should go?”

“Somewhere.”

“Somewhere?”

“Somewhere safe where I have you all for myself.”

Barangkali yang demikian tampak tak nyata; sebab yang sedang kutenun pelan-pelan dari jari-jemari kapalan ini memang tak kasatmata. Tetapi aku tahu, engkau merasa. Merajalela, memetakan setiap inci kulitmu seperti sulur-sulur panjang yang penuh keingintahuan. Menerka, sibuk menduga. Sejauh mana engkau akan membiarkanku merasuki jiwa. Atau kepalamu, kalau boleh kutambahkan. Menginvasi rongga-rongga kosong dengan harapan aku takkan gampang binasa.

Barangkali pinta ini memang terlihat muluk; dibisikkan pada setiap hela napas yang kuhirup dengan berdeguk-deguk. Sebab mendamba untuk sesuatu yang tak sepatutnya lancang kulemparkan, memang butuh mengorbankan. Hari ini, ialah perasaan yang sengaja kutidurkan paksa. Besok, mungkin dua bola mata yang kutawarkan. Sebab meski abai memandang, aku piawai dalam mendengarkan; untuk jari-jemarimu, yang menelusup menggenggam jiwaku lekat dan mengikat.

Anakin. 3.43 pm

All I Ever Wanted (Was You)

“You're out a tad bit too long for my liking.”

“I take it you missed me that much?”

“Yeah. That much.”

It wasn't always like that, Sunghoon thinks. It used to be slow, the pace of Heeseung's withering. Like he's some kind of a growing flower. All done and start to wilt overtime. Hair loss is the first, and then frequent fainting is the second. Nosebleed? You don't have to ask. Heeseung had it everytime. But he is a little champ. Instead of worry, Sunghoon always meet with bright smile and sparkling eyes. Like he is not sick, like everything is okay.

Because Heeseung is his little angel and he wouldn't have him any other way.

Pada suatu ketika, bisik-bisik tetangga menghinggapi telingaku; betapa ribut, berderak-derak seperti ketel ketika air yang sedang kau jerang mendidih berdeguk-deguk. Cintamu semu, itu kata mereka. Aku? Tersenyum simpul. Sebab tidak lain dan tiada bukan, menuju telapak tangankulah engkau mengirim segala kasih dan sayang, bukan mereka.

“Kenapa pula tersenyum-senyum?”

“Tetangga kita lucu.”

“Seperti kamu?”

Seperti aku.”

Pada kesempatan lain, hidup mengirimiku sekelompok kumbang berisik yang gemar berdengung; mencubiti pipiku, semacam sedang memaksa mataku untuk terbuka lebar-lebar. Sebab katanya, kekasihmu punya cinta yang sedemikian sedikitnya. Ini lucu, sebab aku menunduk dan menemukanmu sedang sibuk mengomel sembari menalikan sepatuku. Katamu, anak manja sepertimu takkan hidup lama tanpaku. Keras-keras, aku setuju.

“Sekarang kenapa lagi?”

“Nanti kita beli pestisida.”

“Buat apa?”

Berburu hama.”

Tidakkah kamu merasa takut? Aku kira, aku sempat salah mendengar desis yang dilontar daun-daun di halaman. Kami jarang sekali melihatnya memelukmu sebelum pergi bekerja. Ah, kukira yang demikian takkan pernah jadi soal. Tetapi tampaknya penghuni taman kita senang memperhatikan. Tersipu, aku menggelengkan kepala. Sebab tahu, dini hari ketika kamu melingkarkan lengan mengelilingi pinggang, itu jejak nyata yang kamu tinggalkan mengenai cinta yang dipertanyakan dunia tentang keabsahannya.

“Besok tidak usah ke toko.”

“Membolos bukan perilaku terpuji.”

“Halal dilaksana kalau istri di rumah sedang sakit pinggang.”

“Salah siapa?”

Pinggangku.

Tetapi semesta memang senang melongokkan kepala; atas hal-hal kecil yang terasa di luar nalarnya. Bahwa cinta kita tak perlu disuarakan lantang-lantang. Aku tahu, kamu tahu. Semuanya, berbalas tanpa sisa. Dan akan senantiasa diusahakan lebih-lebihnya.

Termasuk kopi pagi yang kepahitan, namun tetap kamu minum sebab tahu aku telah bersusah payah menakar gulanya. Termasuk handuk basah yang kamu letakkan di atas ranjang, sebab aku tahu kamu pelupa yang berbahaya. Termasuk genggam tangan di atas selimut legam, ketika kita berbaring bersisian dan menghitung bintang-bintang.

Sebab, Bahureksa Pramadana Umbara, untuk melukis peta rumah tangga yang Tuhan sebut kepercayaan, cukup tanganmu dan tanganku yang bergandengan.


Ditulis sembari terkikik-kikik di tengah imajinasi yang melambung tingginya, Anakin, 5.20 pm.

𝙇𝙖𝙮𝙖𝙣𝙜-𝙡𝙖𝙮𝙖𝙣𝙜.

Kamu kira, seharusnya hadirnya semacam kumbang badak di musim panas. Sementara, tak dimaksudkan untuk menetap lama. Kamu duga, jernih manik matanya takkan mampu memenjara. Sebab kamu lebih memilih habiskan hari menatap jalinan tali sepatu ketimbang menyelami teduh tatap matanya.

“Tunggu di sini.”

Sore ini, dia menyeretmu keluar rumah. Menuju lapangan komplek, kaki-kakinya yang jenjang memimpinmu dengan sumringah. 𝘐𝘯𝘪 𝘩𝘢𝘳𝘪 𝘮𝘶𝘫𝘶𝘳, katanya dengan tawa. Sebab langit sedang berbahagia, hujan takkan datang mungkin hingga esok menjelang.

“Kamu yang pegang, aku yang lari.”

Patuh, kamu berdiri tetap bagai tiang lampu taman. Layang-layang kertas, kamu pegang hati-hati di tangan. Sebab takut mencelakai dengan jumlah keringat yang jari-jemarimu produksi. Lamat, kamu mencermati langkah mundur yang dia gapai selagi mengulur benang panjang-panjang.

“Coba bentangkan dulu?”

Dengan kening ramai kerut-merut, kamu menurut. Dua lengan sedia terulur ke atas. Layang-layang kamu sandingkan di atas kepala. Angin sedang bertiup kencang, maka layang-layang kalian seharusnya mampu mengudara sampai petang.

“Udah siap?”

Kadang-kadang, kamu merasa perlu untuk menjadi buta. Pura-pura tidak melihat bagaimana sudut matanya mengerling jenaka ketika sedang mengusilimu hingga murka. Atau, pura-pura tidak mendengar ketika namamu teralun lebih lembut dari biasa; bergulir seperti bola-bola manisan kapas yang meleleh di dalam mulutnya. 𝘒𝘢𝘳𝘦𝘯𝘢 𝘫𝘢𝘵𝘶𝘩 𝘤𝘪𝘯𝘵𝘢 𝘵𝘢𝘬 𝘱𝘦𝘳𝘯𝘢𝘩 𝘮𝘢𝘴𝘶𝘬 𝘬𝘦 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘳𝘦𝘯𝘤𝘢𝘯𝘢.

“Lepas, coba.”

Sebab ketika kamu memperhatikan punggungnya menjauh, kamu bertanya-tanya apakah itu layang-layang yang sedang dia terbangkan, 𝘢𝘵𝘢𝘶 𝘩𝘢𝘵𝘪 𝘶𝘵𝘶𝘩𝘮𝘶 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘪𝘢 𝘣𝘢𝘸𝘢 𝘮𝘦𝘭𝘢𝘺𝘢𝘯𝘨.

𝘼𝙣𝙖𝙠𝙞𝙣, 2.32 PM.

𝙆𝙞𝙙𝙪𝙣𝙜 𝙎𝙚𝙢𝙗𝙞𝙡𝙪.

Mungkin laiknya segenggam butiran pasir yang saling berkelindan untuk jatuh berguguran; demikian aku menganggap hadirmu di sela-sela hela napasku. Sarat kelu ketika hendak kupampatkan masuk, juga meruntas jiwa ketika kutepis presensinya. Ada atau tiada, kamu mencacati waras secuil demi secuil, sebaris demi sebaris. Seperti entitas keras kepala yang menolak untuk binasa, meski hadirnya sedikitpun tidak pernah diharap kepala.

𝘼𝙣𝙖𝙠𝙞𝙣, 12.36 PM.

𝙊𝙣𝙚 𝘿𝙖𝙮.

One day, I would look at this exact memory I stored carefully in my head and laugh it off freely; solely for the warmth that would seep into my chest like you used to be. Engulfing me in a hug, that none else but me could see. Because that's how your embrace felt like these days. Drowning me in a sense of security none else ever able made it out entirely.

𝘼𝙣𝙖𝙠𝙞𝙣, 2.46 PM.